fbpx
OPINI  

ASAL NAMA BLORA

Ilustrasi.
Ilustrasi.

Nama Blora sudah tentu berumur sangat tua, sehingga asal usulnya, seperti nama-nama tempat kuno lainnya, tidak mudah untuk ditentukan.

Apa yang terlihat sekarang, mungkin jauh berbeda, sehingga kita tidak bisa membayangkan bahwa penamaan itu pada awalnya menunjukkan tentang bentang alam secara keseluruhan, atau juga tentang sesuatu, sebagai pembeda dengan wilayah geografis lainnya.

Seperti halnya nama Jawa, yang tertulis sebagai Iabadiu oleh seorang Claudius Ptolemy dari Yunani pada paro pertama abad 2, atau tertulis sebagai Yava-dwipa pada Naskah Ramayana dari negri India, nama-nama itu rupanya sejajar dengan nama Jawa, adalah karena memiliki kesamaan yang khas; sebagai wilayah subur, penghasil biji-bijian (terutama Juwawut) dan kaya akan logam emas.

Dengan demikian, nama Blora akan lazim jika memiliki nama-nama lain, yang lebih kuno, namun memiliki kemiripan dan menunjukkan kesamaan dalam apa yang menjadi spesifik di dalamnya.

Naskah Bujangga Manik (abad 15 – awal abad 16), tentang perjalanan spiritual seorang biksu dari barat ke timur pulau Jawa yang memuat 450 nama-nama wilayah pedalaman, sama sekali tidak menyinggung nama Blora, namun seharusnya wilayah ini termasuk dalam wilayah Medang Kamulan, di mana disebut terletak di antara Pulutan (Sela) dan Ciwuluyu (Bengawan Solo).

Secara geografis, letak Blora jauh dari garis pantai, dan dikepung hutan purba, sehingga kondisi ini seperti menjadi masalah pokok mengapa nama wilayah ini tidak kunjung ditemui pada peta awal kedatangan pelancong Eropa, dan baru tercatat dan dijumpai pada peta geografis yang lengkap karya Francois Valentijn (akhir abad 17) dengan nama Valoora.

Di awal abad 18, muncul berita tentang Blora tetapi dengan nama Balora, adalah pada naskah Babad Tanah Jawi dan Babad Giyanti, yang kemudian dijadikan rujukan awal berdirinya Kabupaten Blora.

Blora bukan kota pusat perdagangan kuno atau dekat dengan ibukota kerajaan-kerajaan Hindu Jawa, sehingga kita harus melepaskan harapan untuk menjumpai nama Blora pada prasasti-prasastinya. Untuk urusan ini, nama Jipang, yang penuh nuansa kontroversi, dan sekarang menjadi nama sebuah desa di ujung Tenggara wilayah Blora, telah mendahului kemunculannya, karena tercatat pada isi prasasti Maribong (abad 12), sebagai wilayah yang cukup dominan di masa itu.

Oleh sebab itu, hampir dipastikan bahwa sumber- sumber data yang lebih akurat tentang Blora sebelum abad 17 adalah nihil. Sehingga seorang jenius Pramudya, harus membayangkan keadaan bentang alam kota Blora kuno yang tak akan bisa ramai, penuh hutan, dan dikepung “kubur Kalang” di tiap bukit-bukitnya. Oleh diskripsinya yang begitu meyakinkan, Blora kemudian diartikan terdiri dari dua suku kata; Wai – Lorah, atau air di tanah rendah (tanah berlumpur), akan masuk akal jika nama ini nantinya akan menurun menjadi lemah patra, “kuburan lemah citra”, tempat asal Empu Barada dari zaman Erlangga yang termasyur itu. Begitulah kira-kira singkat dongengannya.

Metode pencarian asal muasal, seperti apa yang dilakukan oleh penulis besar tentang nama kota kelahirannya ini tidak bisa dikatakan salah, tetapi bahkan sebaliknya, menjadi inspirasi untuk menemukan alternatif lain. Bagaimana tidak, Blora bisa juga merupakan gabungan dari kata sanskerta dari wai-ruroh, atau wai-luroh, yang berarti sebuah tempat dimana “air yang dicari” ditemukan. Karena kata luroh sama arti dengan luru, yang berarti mencari-cari, dan jika wai atau air itu adalah “air suci”, maka lengkap sudah sang Empu Barada versi Pram menemukan isi kendi untuk membelah Jawa.

Tentang penulis: Totok Supriyanto adalah pemerhati sejarah dan budaya.

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com

Verified by MonsterInsights