fbpx
OPINI  

VETERAN PERANG JAWA DI BLORA

Lukisan Penangkapan Diponegoro oleh Raden Saleh.

Perang Diponegoro atau sering juga disebut Perang Jawa (1825-1830) adalah perang terbesar sepanjang kekuasaan Kompeni atas Nusantara. Kedahsyatan perang tersebut telah merenggut nyawa 8000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7000 pribumi dan 200.000 orang Jawa. Setelah perang usai, penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.

Penyusutan jumlah penduduk di basis-basis laskar Diponegoro tidak hanya karena gugur di medan pertempuran, tetapi banyak diantaranya yang mengungsi ke wilayah lain sebagai upaya menghindari kejaran Kompeni. Diantara para pelarian tersebut, ada memilih wilayah Blora sebagai kampung halaman untuk anak cucunya sampai hari ini.

Tersebutlah tiga sosok pasukan Diponegoro yaitu Raden Ngabehi Honggowijoyo yang pada sekitar tahun 1830 mulai menetap di Desa Tutup Kec. Tunjungan, Blora. Kedua, Raden Kerto Joyo menetap di Dukuh Setro, Desa Tamanrejo, Kec. Tunjungan dan seorang lagi menetap di Dukuh Maguan, Desa Tamanrejo, Kec. Tunjungan. Sayang sekali nama tokoh terahir tidak tercatat. Karena keterbatasan data, tulisan ini hanya mengupas tokoh yang pertama.

 

Lukisan Penangkapan Diponegoro oleh Raden Saleh.

 

Warga Desa Tutup tempo dulu memanggil Raden Ngabehi Honggowijoyo dengan panggilan Mbah Datuk. Beliaulah yang babat desa dan memberi nama pada Desa Tutup, diambil dari nama pohon trutup. Sampai saat inipun masih banyak orang menyebut nama Desa Tutup dengan sebutan Trutup.

Menurut dokumen keluarga almarhum Bapak Soedarwanto, yaitu surat resmi yang dikeluarkan Kraton Kasunanan Surakarta, Mbah Datuk adalah generasi ke 10 dari Raden Arya Mangkubumi; Raden Ngabehi Honggowijoyo, bin Raden Ngabehi Wongsodijoyo II, bin Raden Ngabehi Wongsodijoyo I, bin Raden Tumenggung Arung Binang II, bin Raden Tumenggung Arung Binang I, bin Kyai Honggoyudo, bin Pangeran Bumidirjo, bin Mas Bekel Wirobumi, bin Raden Lurah Wirobumi, bin Raden Tumenggung Wongsodirjo, bin Raden Arya Mangkubumi.

Keberadaan Mbah Datuk yang membuka Desa Tutup di kemudian hari ternyata bisa diterima oleh bupati-bupati Blora saat itu, terbukti salah satu putra Mbah Datuk pernah menjadi Wedono Jati. Tiga generasi keturunan Mbah Datuk secara berurutan juga menjadi Lurah Tutup, yaitu R. Honggodiwiryo (Lurah Tutup I), R. Citrodiwiryo (Lurah Tutup II), R. Sumarjo Citrodijoyo (Lurah Tutup III). Nama terahir –lebih sering dipanggil Mbah Lurah Citro- menjadi lurah selama 51 tahun sampai tahun 1950.

Lazimnya sejarah sebagai rekonstruksi masa lalu dengan keterbatasan data, narasi sejarah di atas memunculkan banyak pertanyaan. Siapakah Raden Kerto Joyo? Siapakah veteran perang Jawa ‘tanpa nama’ yang menetap di Maguan? Apakah Mbah Datuk alias Raden Ngabehi Honggowijoyo yang dimakamkan di pemakaman keluarga di Desa Tutup adalah mertua Kyai Abdul Manan Dipomenggolo,

pasukan Diponegoro yang juga pendiri Pondok Pesantren Tremas Pacitan, dimana dalam sejarah pondok pesantren tersebut disebutkan bahwa sang pendiri adalah menantu perwira laskar Diponegoro bernama Raden Ngabehi Honggowijoyo.

Semoga ada yang membantu menguntai sejarah……

 

 

Penulis : Abahe Genduk