BLORANEWS – Sudah banyak indikasi bahwa putra Bupati Pengging yang dibunuh atas perintah Panembahan Jimbun itu ditakdirkan untuk mendapat peran yang lebih besar dalam sejarah Jawa.
Naskah Babad mengatakan bahwa kebesaran masa depannya sudah terdengar melalui Sasmita gaib yang terdengar oleh ibunya saat melahirkannya sebagai janda Kyai Gede Tingkir atau Kebo Kenanga. Oleh karena itu dia dipanggil dengan nama Jaka Tingkir di masa mudanya ketika dia berumur kira-kira sebelas tahun.
Dia dibawa ke Demak oleh ibunya, dimana dia menemukan kesempatan untuk mengambil hati para Pangeran, memberinya nama Panji Mas, dan dengan seksama mempelajari agama Islam dan hukum pemerintahan untuk kemudian diangkat menjadi panglima. Saat dia menikah dengan putri Pangeran Trenggana, dipercayakan kepadanya bekas wilayah kabupaten ayahnya, yang kemudian disebut sebagai Pajang. Dengan seizin ayah mertua, ia lalu membangun sebuah keraton baru disana.
Masih banyak detail menakjubkan yang bisa diceritakan tentangnya, tetapi jelas bahwa pasca kematian Pangeran Trenggana ia tetap memiliki wilayah Pajang dan juga Matawis, bergelar sebagai Adipati.
Dikatakan bahwa putra sulung Pangeran Trenggana, Pangeran Mukmid, seharusnya dianggap sebagai penerus yang sah dari ayahnya, karena ia ditugaskan di Demak dengan provinsi-provinsi sekitarnya, sebuah wilayah yang kira-kira sampai dengan Semarang. Dia menjadi Susuhunan – atau juga Sultan Prawata. Jadi dia memilih tempat itu, di sudut barat daya Japara, sebagai pusat pemerintahannya. Mungkin juga ia yang membangun kraton itu, sisa-sisanya masih dapat ditemukan disana.
Putra kedua, Mas Timur, dengan gelar Adipati, mengelola lanskap Kedu dan Bagelen, sebelah barat Jogjakarta.
Putri kedua Pangeran Trenggana menikah dengan Pangeran Hadiri, putra seorang Bupati Jepara. Menguasai lanskap Jepara, Juwana, Pati dan Rembang. Pangeran Hadiri disebut Susuhunan Kali Nyamat, berada di jalan antara Jepara menuju Kudus, atau mungkin di tengah-tengahnya, menjadi tempat kedudukan singgasana.
Putra bungsunya, Raden Penangsang, menjadi Adipati di Jipang. Nama ini sekarang telah menghilang dari peta Jawa, tetapi saat Raffles, Jipang masih menjadi lanskap kira-kira sesuai dengan seluruh wilayah Bojonegoro saat ini dan Blora bagian selatan.
Dalam cerita yang beredar, Jaka Tingkir memiliki nama-nama lain yang beragam, dan cukup membingungkan jika itu untuk diperjelas. Nama Panji Mas bisa jadi diberikan kepadanya karena ia seringkali dikatakan memiliki permata-permata utama kerajaan Jawa dan memperolehnya sebesar otoritasnya atas penguasa-penguasa lain. Tetapi tetap saja sulit memahami bagaimana Regalia itu bisa sampai ke tangannya. Satu-satunya berita yang terdengar masuk akal adalah bahwa ia telah memenangkan otoritas Jipang, dengan pelindung Susuhunan Kudus.
Banyak yang menganggap keberpihakan Kudus kepada Jipang dikarenakan potensi kekayaan yang tersimpan di dalamnya, sehingga membuatnya dirasa paling mampu untuk mendirikan keraton baru.
Tetapi Mas Karebet berhasil merebut emasnya untuk lambang kemegahan seorang raja Jawa dan itu terbukti hingga memperoleh legitimasinya di Giri Kedaton, kota pewaris Wali Sanga.
Tentang penulis: Totok Supriyanto merupakan pemerhati sejarah dan budaya yang kini berkecimpung di Dewan Kebudayaan Blora (DKB).
*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com