fbpx
OPINI  

MEGERI : PESONA INDIE ANTARA BLORA DAN NGAWI

Kesanku kala pertama kali mengunjungi Desa Megeri, nun jauh di ujung Blora sebelah selatan berbatasan langsung dengan Kabupaten Ngawi, adalah desa yang eksotis, unik, dan indie. Betul, anda tak salah baca, saya membicarakan tentang senja, kopi, dan sedikit patah hati. Semoga saja, aku bisa mengunjunginya lagi suatu saat nanti. Mengingatnya saja, membuatku kembali rindu dengan kepulan uap kopi panas yang direbus di atas Gunung Gogor, tempat kami mendirikan tenda.

Begini ceritanya, saya bersama rombongan dari Kandang Pendaki, perpustakaan jalanan Blora dan Talang Bocor bercamping di Gunung Gogor Desa Megeri, Kecamatan Kradenan Kabupaten Blora, Jawa Tengah, atas undangan dari Perpustakaan Jalanan Dope dan Komunitas Literasi setempat. Penyelenggara acara menyarankan kami untuk berangkat via Ngawi karena kami berangkat malam hari. Pertimbangannya, akses jalan yang lebih bersahabat daripada lewat jalur Blora – Kradenan – Megeri yang masih lumayan bahkan sangat mengerikan bagi pendatang .

Tiba di lokasi, kami disambut ramah teman-teman dari Komunitas Muda Berkreasi (Komunitas Muda Berkreasi) Desa Megeri. Segera kami mendirikan tenda dan teman yang lain merebus kopi untuk sekedar melenyapkan kantuk dan lelahnya perjalanan. Untungnya kita serombongan lewat Ngawi, jika lewat Randublatung-Kradenan-Megeri mungkin kita sampai ke lokasi saat matahari terbit. Cuaca mendung dan sedikit gerimis menemani kita hingga siang tiba.

Beralih ke sudut yang lain, selera musik anak muda di Desa Megeri bisa dibilang unik. Bagaimana tidak, di tengah gempuran musik cidro ala Deni Caknan yang populer di wilayah Ngawi dan sekitarnya serta aroma dangdut koplo ala Yeni Inka kebanggaan Randublatung, mereka juga menikmati musik-musik indie macam Fourtwenty atau Jason Ranti. Tak hanya mendengarkan, mereka juga piawai memainkan musik macam itu dengan iringan gitar akustik yang gripnya rada menipis dan senarnya putus satu .

Hal lain yang membuat saya jatuh cinta dengan Desa Megeri adalah betapa sat-setnya anak muda. Kita serombongan gak kebagian kerjaan, baik di pra acara semacam priper lokasi, tenda atau setidaknya sound system, hingga bersih-bersih pasca acara. Semuanya dikerjakan anak muda di sana dan kami benar-benar menikmati acaranya. 

Desa Megeri secara literally berbatasan dengan Kabupaten Ngawi di sisi timurnya. Tepat di lokasi kita mendirikan tenda. Lebih dekat ke Ngawi ketimbang ke Blora Kota, sedekat dari Jepon ke Alun-alun. Bahkan tempat kita parkir motor masuk wilayah Ngawi . Sesaat terlintas di pikiran saya, betapa sulitnya bagi orang-orang di Desa Megeri untuk mengurus dokumen administrasi ke Blora Kota. Bukankah lebih nyaman jika mereka berpindah status sebagai warga Ngawi saja, jalan ke pusat kota lebih mulus dan jaraknya lebih dekat. Tapi, saya pendam saja pikiran itu. Toh, dari observasi singkat saya, 7 dari 10 kaum milenial Desa Megeri tidak kenal Bupati Blora. Jadi, biarkan saja sejenak anak-anak muda lupa kalau mereka punya Bupati sehingga tak terlalu berfikir tentang jalan rusak dari Megeri ke Blora. Toh, punya Bupati atau tidak, rasanya tidak akan jauh beda. 

Satu hal yang memaksa saya untuk kembali ke Desa Megeri adalah ajakan dari teman-teman komunitas film yang tertarik membuat dokumenter tentang desa ini. Tak banyak yang bisa saya janjikan, hanya keakraban pemuda Desa Megeri, secangkir kopi, dan suasana indie. Sampai jumpa, dan yakinlah saya akan menginap lagi di desa ini. 

Tenteng Penulis : Aliph bengkong. Merupakam owner Kandang Pemdaki Blora.

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com.

Verified by MonsterInsights