fbpx

PERANG BANGSRI : KISAH KEPAHLAWANAN SANG NAYA SENTIKA

patung noyo gimbal
Untuk mengingat jasa nya di bangsri di bangunlah monumen noyo sentiko

Bangsri ( 17/03/2016 ) Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya, dan kabupaten yang besar adalah kabupaten yang menghargai para pejuang daerahnya. Di Kabupaten Blora terdapat banyak palagan ( gelanggang pertempuran ) yang melahirkan banyak pahlawan sekaligus tempat para kusuma bangsa tersebut menghembuskan nafas terakhir di bumi nusantara.

Salah satu palagan paling berdarah di Kabupaten Blora adalah Oro – oro Sedodol di desa Bangsri Kecamatan Jepon. Oro – oro Sedodol merupakan sebuah tanah luas ( dalam bahasa jawa tanah luas yang tidak digarap dinamakan oro – oro ) yang menjadi palagan pecahnya Perang Bangsri pada abad XVIII. Saat ini Oro – oro Sedodol telah menjadi sawah yang digarap warga Bangsri.

 

Sidododol_noyo gimbal
Oro-oro Sedodol palagan (tempat pertempuran) perang Bangsri

 

Pemimpin perjuangan rakyat kala itu adalah Naya Sentika, lebih dikenal dengan nama Naya Gimbal. Mbah Moeljadi ( 80 ) merupakan salah satu sesepuh desa Bangsri yang banyak menjadi rujukan dalam penelusuran sejarah Perang Bangsri dan kepahlawanan Naya Gimbal. Beliau bertempat tinggal di sebuah rumah sederhana tidak jauh dari Patung Naya Gimbal di pertigaan desa Bangsri.

 

patung noyo gimbal
Naya Sentika : Pahlawan rakyat desa Bangsri dalam mengusir penjajah kolonial

 

Masih jelas dalam ingatan Mbah Moeljadi saat mendengarkan kisah Naya Gimbal dari sesepuh desa Bangsri saat itu, Kamituwa Joyo. Di masa remajanya, Mbah Moeljadi banyak mendengarkan kisah Kepahlawanan Naya Gimbal dari sesepuh – sesepuh desa. “ Tentu saja, saya tidak pernah mengalami jaman perjuangan Naya Sentika ( Naya Gimbal ), tetapi semua yang akan saya ceritakan ini saya dapat dari Kamituwo Joyo, Kamituwo Bangsri kala itu.” ungkap Mbah Moeljadi.

Dalam penuturannya, Mbah Moeljadi menyampaikan bahwa tidak ada yang tau tanah kelahiran Naya Gimbal, hanya saja banyak referensi sejarah yang menyampaikan bahwa pada masa remaja Naya Gimbal berguru di Perguruan Gunung Genuk di daerah taunan masuk daerah kabupaten Rembang  yang diasuh oleh Mbok Rondho Egroh. Semangat muda Naya Gimbal membara saat mengetahui penindasan yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda telah melampaui batas. Naya Gimbal memutuskan untuk mengusir penjajah Belanda.

 

mbah mulyadi nara sumber bangsri
Mbah mulyadi saat menuturkan terjadinya perang Bangsri

 

Diiringi restu dari gurunya, Mbok Rondho Egroh dan didampingi kawan – kawan perjuangannya Naya Gimbal pun turun gunung untuk mengusir penjajah Belanda. Mengetahui tujuan Naya Gimbal, masyarakat pun bergembira dan bersorak – sorai. Saat  ini peristiwa tersebut diabadikan menjadi nama bagi gunung tersebut, Gunung Surak.

Sebelumnya, Mbok Rondho Egroh berpesan kepada Naya Gimbal agar serangan yang akan dilakukan hendaknya searah dengan mulut Genuk ( tempat air tradisional jawa  ) Keramat yang ada di padepokan. Sayangnya, pesan sang guru ini diketahui oleh Sarinah, teman seperguruan Naya Gimbal yang tidak menghendaki Naya Gimbal memenangkan pertempuran. Diam – diam, Sarinah menggulingkan mulut Genuk Keramat ke arah barat laut.

Karena perbuatan Sarinah, pasukan yang dipimpin Naya Gimbal pun dengan mudah dikalahkan oleh tentara Pemerintah Hindia Belanda. Situasi ini memaksa Naya Gimbal dan pasukannya mundur sampai di desa Bangsri. Di desa tersebut, Naya Gimbal meminta bantuan dari lurah Bangsri.

 

Teledek bangsri
Sawah teledek saksi bisu terjadi perang Bangsri

 

“ Nanging, lurah Bangsri menika ajrih perang. Lajeng Naya Gimbal nledek – nledek dumugi oro – oro. Wonten Ngriku, Naya Gimbal ndamel upat – upat reja – rejane jaman yen siro dadi sawah, dadio sawah teledek. Yen dadi desa, dadio siro desa Teledek. ( Akan tetapi, lurah Bangsri tidak berani mengangkat senjata melawan tentara Kolonial Hindia Belanda. Lalu Naya Gimbal berjalan terlunta – lunta sampai ke sebuah tanah lapang. Di tempat itu, Naya Gimbal mengucapkan sumpah, Kelak di kemudian hari, jika tanah lapang ini menjadi sawah maka akan bernama Sawah Teledek ( nledhek : terlunta- lunta ). Demikian pula jika tanah lapang ini menjadi desa, maka akan bernama desa Teledek.)  “ cerita Mbah Moeljadi

Seiring berjalannya waktu, sawah Teledek menjadi tempat dilaksanakannya pertunjukan ledhek ( Tayuban ). Bagi warga desa Ngrapah ( tetangga desa Bangsri ), pertunjukan ledhek menjadi wujud rasa syukur atas terpilihnya kepala desa baru. Di jaman sekarang, pertunjukan ledhek ditampilkan di balai desa Ngrapah dan tidak lagi di sawah Teledhek.

( Bersambung ke bagian 2 )

Reporter          : Muhammad Eko

Fotografer        : Az Zulfa

Verified by MonsterInsights