fbpx
OPINI  

SIGNIFIKANSI DEMOKRATIK PROPORSIONAL TERBUKA VS TERTUTUP

Ahmad Mustakim, S.PdI.
Ahmad Mustakim, S.PdI.

Semua sedang menunggu apakah Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan untuk mengubah Sistem Proporsional Terbuka menjadi Proporsinal Tertutup. Dalam masa menunggu itu diskursus tentang kedua system tersebut mengemuka oleh para pakar hukum Tata Negara, pakar politik, pengamat politik serta para politisi itu sendiri.

Jika politik dikembalikan pada akar kata dan tradisi yang bersumber dari Yunani, politeia yang berarti semua urusan yang berhubungan dengan Negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan maka perubahan dari proporsional terbuka menjadi tertutup harus bermuara pada signifikansi demokratik yang dihasilkan dari perubahan tersebut. 

Signifikansi Demokratik yang dimaksudkan di sini adalah perubahan tersebut mempunyai daya beda yang besar dalam mengubah perilaku politik warga Negara, partai politik dan berujung pada perbaikan produk politik yang bersesuaian dengan kepentingan warga dalam sebuah bangunan Negara. 

Perubahan tersebut harus mampu menguatkan posisi partai politik pada dua penjurunya; rakyat dan negara. Tetapi kondisi psikologi politik public terhadap partai politik saat ini sedang tidak baik-baik saja. Parpol dipersepsikan public sebagai salah satu institusi yang paling kurang dipercaya yang apesnya DPR juga mendapat kategori yang serupa. Dalam kondisi seperti ini tentu public kurang mendukung upaya perubahan sistem politik jika inisiatif tersebut berasal dari partai politik.

Perbandingan sistem Proporsional Tertutup dengan Terbuka berkembang menjadi wacana yang berkembang menjadi multidimensi bukan hanya berada dalam ranah politik saja tetapi juga bergerak ke dalam dimensi filosofis dengan mempertanyakan hakikat dan kedua fungsi sistem tersebut dalam sudut pandang kedaulatan rakyat, fungsi parpol dan bagaimana parpol merepresentasikan kepentingan rakyat. Dalam dimensi sosiologis berupa praktik politik yang selama ini sudah berkembang dan persepsi yang berkembang dari kedua system tersebut ketika dilaksanakan. 

Hantu oligarki dan merebaknya politik uang yang secara tragis pada awalnya sengaja digunakan sebagai pilihan politik tiba-tiba menjadi kambing hitam dari rusaknya sistem politik dari level procedural mulai dari kampanye hingga pemungutan suara hingga level-level yang lebih substansif seperti pembajakan perumusan kebijakan. 

Jika kemudian muncul keluhan politisi bahwa fungsi mereka dibajak oleh modal dan uang maka mengapa harus mencari solusinya dengan mengubah dari system proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup? Apakah system Proporsional Tertutup jika dilaksanakan maka oligarki akan menghentikan operasi uangnya ataukah tidak? Bahkan layak juga dicurigai bahwa oligarki akan menjalankan operasinya secara lebih efisien karena sasaran politik uangnya menjadi lebih mengerucut pada sedikit person yaitu pada elit politik dengan tujuan yang sama yaitu membajak kebijakan public dan program pemerintah lainnya. Persepsi public tentang hal ini sudah sangat mendalam dan berkembang menjadi jargon No duit No nyoblos. 

Parpol dan Pendidikan Politik

Menurut Ramlan Surbakti, partai politik merupakan sekelompok orang yang terorganisir secara rapi yang dipersatukan oleh persamaan ideologi yang bertujuan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemilihan umum guna melaksanakan alternative kebijakan yang telah mereka susun. 

Alternatif kebijakan umum yang disusun ini merupakan hasil pemanduan berbagai kepentingan yang hidup dalam rakyat, sedangkan cara mencari dan mempertahankan kekuasaan guna melaksanakan kebijakan umum dapat melalui pemilihan umum dan cara-cara lain yang sah. 

Dari pandangan Ramlan Surbakti ini, secara anatomi partai dimulai dari pengorganisasian diri secara rapi, ada strategi untuk memandu kepentingan rakyat dan pencapaian tujuannya melalui atau lewat pemilu. Maksud dari pengorganisasian diri tentu saja berkait dengan pembiayaan politik (logistic policy), pengkaderan,transformasi nilai dan tujuan /pendidikan politik dan penyusunan struktur. 

Strategi memandu kepentingan rakyat berhubungan dengan fungsi partai politik dalam menyerap aspirasi dan mengagregasi kepentingan public sebagai partai maupun ketika berposisi dalam parlemen dan pemerintahan. 

Dan pemilu merupakan pintu demokratik bagi partai untuk mencapai tujuan dengan pengorganisasian diri yang telah dilakukannya. Karena hakikatnya berdirinya partai adalah alat representasi kedaulatan rakyat maka system pemilu dirancang sedemikian rupa dengan berbagai alternative system yang sama-sama dipandang demokratik.

Tetapi derajat kedemokratikannya tentu saja berbeda-beda. Kriteria untuk mengukurnya tentu saja semakin terbebas dari sekat antara rakyat dengan pilihannya maka ia dipandang paling demoratik secara procedural. 

Tentu saja dalam praktiknya jika rakyat langsung dapat memilih calon sebagai pilihannya itulah urutan pertama dari segi kedemokratikannya, seperti halnya system demokrasi langsung yang dijalankan warga Athena pada abad ke 5 SM atau dalam tradisi rakyat desa di Indonesia berupa pemilihan Kepala Desa. 

Pada ukuran ini maka Sistem Proporsional Terbuka dipandang lebih Demokratik dibandingkan Sistem Proporsional Tertutup. Karena dalam Proporsional Tertutup pilihan rakyat masih harus diproses terlebih dahulu oleh partai melalui pemeringkatan nomor urut.

Ada dua pertanyaan yang dapat disimulasikan untuk menemukan jawaban secara logis mengenai bagaimana kedua sistem tersebut ketika berhadapan dengan uang dan pemilik modal. Pertanyaan apakah dalam system Proporsional Terbuka memungkinkan meniadakan peran uang dan pemilik modal? Jika jawabannya tidak memungkinkan maka solusinya adalah Sistem Proporsional Tertutup. Tetapi jika dijawab memungkinkan, maka jawaban itu akan langsung dipatahkan karena dalam realitas politiknya uang dan modal sudah sangat berpengaruh dan kesalahan itu pada Sistem Proporsional Terbuka. Maka pilihan rasionalnya sebagai konsekuensinya adalah Sistem Proporsional tertutup. 

Sehingga pertanyaan pertama ini tendensius dan terlalu membebani bahwa peran uang dan modal hanya akan berlaku jika system Proporsional Terbuka yang dipilih. Dan pertanyaan sejenis ini juga akan tendensius jika diajukan pada Proporsional Tertutup. Pertanyaan yang lebih adil adalah apakah uang dan pemodal dapat sama-sama berpengaruh dalam Sistem Proporsional Terbuka dan Tertutup? Jika pada pertanyaan kedua yang diajukan dan jawabannya adalah kedua sistem tersebut masih bisa dipengaruhi oleh uang dan pemodal. 

Maka konsekuensi dari jawaban ini adalah jika kedua sistem tersebut masih sama-sama bisa dipengaruhi uang dan pemilik modal maka masalah mendasar yang harus diselesaikan adalah bukan pada kedua system tersebut. Penggunaan uang sebenarnya tidak berkait dengan sistem proporsional yang dipilih tetapi keinginan partai untuk menang dengan basis uang dan modal sebagai sumber daya utamanya. 

Lambat laun ketergantungan pada uang ini menggerus pengkaderan dan pendidikan politik di internal partai. Partai menjadi permissive terhadap penggunaan uang untuk meraup suara. Dan gejala ini dengan cepat ditangkap oleh rakyat, apalagi dengan factor social-ekonomi yang sedang kurang baik. 

Mengharapkan militansi rakyat untuk memilih dengan pertimbangan idiologis atau programmatic sekalipun tentu akan muspra karena politisi sendiripun diragukan militansinya dengan fakta banyaknya politisi yang tersangkut kasus korupsi. Budaya penggunaan uang sebagai alat politik telah membudaya diantara kedua pihak bahkan telah meracuni tujuan politik masing-masing pihak. Politisi berpolitik untuk mengejar kekuasaan dan uang maka rakyatpun menagih uang ketika menentukan pilihan politiknya. 

Dalam kungkungan budaya politik seperti ini maka signifikansi demokratik antara Proporsional Terbuka maupun Tertutup menjadi tidak ada. Artinya, kedua system tersebut ketika dilaksanakan sama-sama akan berkutat dan terjebak pada dominasi uang dan pemodal. Hal yang perlu dipertanyakan sebenarnya adalah bagaimana sebenarnya pendidikan politik dan pengkaderan itu dijalankan oleh partai politik. Atau jika sedikit memetakan permasalahan tersebut secara lebih luas, bagaimana peran Negara untuk memecahkan masalah tersebut?

Salah satu fungsi partai politik menurut Rusadi Kantaprawira adalah fungsi pendidikan politik. Pendidikan politik merupakan proses memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai politik negara dan akhirnya terimplementasi pada kegiatan pemilihan umum. Sukses atau tidaknya pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik kepada masyarakat dapat dilihat dengan tingkat partisipasi masyarakat ketika pemilihan umum. 

Partisipasi di sini tentu saja partisipasi sadar yang bersifat sukarela karena berkaitan dengan penggunaan hak demokratik untuk menentukan masa depan pengelolaan negara apakah sesuai dengan hakikat bernegara yang dicita-citakannya. Pendidikan politik seharusnya secara parallel menjadikan politisi dan rakyat secara bersama-sama menjadi ideologis dan militan dalam menjalankan garis politiknya. 

Oleh karena itu penggunaan politik uang sebenarnya musuh bagi kedua pihak dalam praktik politik, bukan sebaliknya seperti yang dapat kita saksikan secara kasat mata dalam praktik politik kita saat ini. Budaya politik uang ini menjadi demokrasi menjadi suram pada level prosedural maupun substantifnya. Secara yuridis pendidikan politik mengacu pada Pasal 31 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 menyebutkan bahwa: Pendidikan partai politik bertujuan untuk : Pertama, meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 

Kedua, meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Ketiga, meningkatkan kemandirian, kematangan, dan membangun jiwa nasional untuk menjaga persatuan nasional. Dimana pendidikan politik dilakukan untuk membangun budaya etis dan politik yang sesuai dengan Pancasila. 

Selanjutnya Pasal 34 ayat (3a) menjelaskan bahwa: dalam pelaksanaan pendidikan politik, partai politik menerima bantuan keuangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang diberikan secara proporsional kepada partai politik yang mendapat kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, yang perhitungannya didasarkan pada jumlah suara akuisisi. Bantuan keuangan diprioritaskan untuk melakukan pendidikan politik bagi anggota partai politik dan masyarakat.

Maka akar permasalahan sebenarnya adalah pada partai itu sendiri yang terlampau permissive membiarkan dirinya dirasuki dan selanjutnya dikendalikan oleh kekuatan uang oligarki. Setiap partai mempunyai AD/ART, pola pendidikan politik, rekruitmen dan kaderisasi serta visi-misi. 

Jika seluruh perangkat itu digunakan sebagai mana mestinya. Maka dalam Sistem Proporsional Terbuka maupun Tertutup ketika Oligarki masih tetap menjalankan operasi politik uangnya maka secara procedural dan substantive proses politik yang demokratik tetap saja akan dibajak. Apalagi jika operasi uang itu tidak hanya dalam ranah politik tetapi juga masuk ke ranah pemerintahan dan ekonomi. 

Maka masalah sesungguhnya adalah system politik apapun akan kehilangan signifikansi demokratiknya dan menumpulkan fungsi partai politik sehingga ia menjadi berjarak dengan rakyat (politikos) dan menjauh dari kepentingan asasinya (politea) jika institusi politik dan non politik telah dikooptasi oleh modal dan kepentingan uang.

 

Tentang Penulis: Ahmad Mustakim, S.PdI. Aktivis demokrasi. Pernah menjadi Relawan Demokrasi, Anggota PPK Ngawen 2018, Panwascam Ngawen 2020. Menjadi jurnalis sejak 2018 hingga 2023 dan tergabung dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Blora.

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com.

 

Verified by MonsterInsights