fbpx
OPINI  

BLANDONG BLORA

Blandong kayu jati (sumber: Cakkavatti/arti-sejarah.com)
Blandong kayu jati (sumber: Cakkavatti/arti-sejarah.com)

Wilayah Blora memang identik dengan kawasan hutan. Begitu luasnya tanah perusahaan negara ini, sehingga mencakup hampir persis separo dari total wilayah Blora. Orang Blora terbiasa dengan pemandangan hutan, tetapi sedikit sekali yang mengerti bagaimana hutan itu harus diperlakukan seperti apa.

 

Blandong kayu jati (sumber: Cakkavatti/arti-sejarah.com)
Blandong kayu jati (sumber: Cakkavatti/arti-sejarah.com)

 

Adalah ironi sejak dulu, penikmat hutan Blora bukanlah orang Blora sendiri, sehingga kayu Jati yang berkualitas satu, benar-benar menjadi emas, sementara penduduk asli di lingkungan hutan Blora, bisa dianggap hanya memetik hasil dari daunnya saja.

Bagi para pengusaha, mungkin akrab dengan semua jenis dan klasifikasi kayu jati hasil panen dari hutan Blora. Tetapi di kalangan pedesaan, akan faham lebih secara sederhana, menjadi kayu peteng dan kayu TPK. Tak diketahui kapan istilah itu mulai diperkenalkan. Peteng dapat berarti “gelap”, atau dekat dengan segala sesuatu yang bersifat samar. Dan kayu TPK (Tempat Penimbunan Kayu) berarti jelas sebuah kayu hasil panen dari Perhutani. Dan jelas pasti tingkatan harganya. Tetapi disini bukanlah untuk mencari nilai dari istilah gelap terangnya kayu jati. Sebab apapun jika itu kayu jati, nilai ekonomisnya pasti ada, dan selalu akan berbanding lurus dengan kualitasnya.

Ada rentang panjang kejadian, berikut daftar istilah, baik secara umum maupun spesifik berada di kawasan hutan Blora. Salah satu dari daftar istilah itu ada yang paling menonjol, terkait kondisi masyarakat hutan Blora, yaitu sebutan Blandong. Mungkin berasal dari gabungan kata Jawa: ambal, angkat, gendong, berarti tukang angkut, tukang panggul barang, bolak-balik sesuai permintaan. Tetapi sayangnya, julukan kuno ini sekarang mengarah negatif, seorang penebang kayu ilegal, artinya mereka pencuri kayu jati di hutan Blora.

Secara geografis tanah Blora yang berkapur memungkinkan sebuah tumbuhan seperti jati menjadi pohon yang paling kuat menghadapi perubahan ekstrim cuaca secara alami, dengan kulit yang tebal, jati bahkan paling tahan terhadap kebakaran lahan. Maka hutan Jati di Blora termasuk hutan purba, tinggal menunggu giliran peradaban untuk mengetahui manfaatnya. Oleh karena itu, sejak Medang, Majapahit atau Mataram yang terakhir berkuasa, hutan jati Blora sudah begitu menggoda untuk dijadikan komoditas, sebagai bahan baku Istana, atau bahan armada kapal bagi kedigdayaan maritimnya.

Tak terkecuali bangsa Kompeni Belanda yang pertama kali datang dengan tujuan penguasaan rempah di Jawa. Waktu itu, hutan Blora sebenarnya sebuah hutan rimba, yang seolah-olah homogen karena dominansi pohon jati. Kayu jati Blora dipercaya menjadi kayu dengan kualitas satu, jadi bukan perkara udara segar hasil fotosintesa, atau lanskap hijau yang mempesona, tetapi gelondong kayu jati Blora yang begitu menggiurkan bagi siapa saja, tak terkecuali bagi Kompeni. Mungkin bukan sebuah kebetulan jika momen bernama Giyanti, dimana batas-batas teritori dua Mataram diprakarsa, dikenal di Blora sebagai peristiwa “Sigar Semangka”. Karena tampaknya, sejak saat itu, sebagaimana segarnya semangka yang baru dibelah, Kompeni mulai leluasa “menghisap” hasil hutan Blora.

Dampaknya, pembalakan liar menjadi marak dan penebangan hutan terjadi secara membabi-buta. Kompeni yang salah beranggapan bahwa hutan Jawa tak akan ada habisnya, mendelegasi penguasa pribumi dan orang-orangnya untuk bebas menebang sesuai permintaan mereka. Bersamaan itu mulailah dikenal istilah Blandong. Banyak anggapan mereka adalah sisa-sisa suku kalang, suku pedalaman asli pewaris keahlian kayu, sekaligus tukang angkut di tengah hutan Blora. Catatan Speelman (1678) mendeskripsikan suku ini bukan hanya sebagai suku penebang, pengangkut kayu,  tetapi juga pembuat gorab atau kapal Jawa. Hidup mereka sebenarnya nomaden, mereka masih memilih makanan pokok kentang hitam yang diambil di sela hutan rimba.

Baru pada awal abad 19, saat Kompeni berubah menjadi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, Gubernur Jendral Daendels, di tahun 1808 menuntut sebuah aturan baru tentang pasokan kayu Jati. Tetapi hutan Jawa terlanjur sudah porak poranda.  Meskipun demikian keadaannya, semua cadangan kayu jati dan akses gratisnya harus didapatkan di seluruh Jawa. Akses itu kemudian menuju hutan rimba, ke pedalaman hutan Blora, dimana tersimpan kayu Jati dengan kualitas terbaik di Jawa.

Setahun setelahnya, Daendels meningkatkan aturan itu dengan melarang semua perdagangan kayu Jati secara pribadi. Direkrutlah wong cilik Blora untuk bekerja dengan secara paksa, memotong pohon, menarik balok-balok kayu dari hutan Blora. Orang Belanda menamakan pekerja ini sebagai Blandongs-volkerens.

Selama berpuluh tahun kemudian, “kaum Blandong” dijadikan andalan untuk memperoleh kayu jati di hutan. Jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun, terdiri dari sejumlah laki-laki dari berbagai wilayah di Blora, yang dipanggil dan dikumpulkan setiap lima belas hari sebulan. Di bawah pengawasan mantri, mereka menebang pohon di hutan yang ditentukan, lalu mengumpulkannya di jalan besar. Hewan kerbau atau sapi pada gilirannya harus digunakan untuk menyeret kayu-kayu itu ke tempat penimbunan, atau untuk mengangkutnya ke tepi Bengawan.

Pekerjaan dimulai dari bulan Februari sampai November pertahun, maka, kondisi paling berat dan menyedihkan adalah menjadi seorang Blandong. Ditengah musim kemarau, dimana pohon-pohon jati meranggas, seorang Blandong terus berada di bawah hutan jati dan dalam suasana pengap, lembab dan menindas, dekat dengan sumber penyakit dan malaria. Semuanya semakin melelahkan, bukan profesi  sesungguhnya untuk menjadi penebang kayu, mereka sebenarnya hanya seorang petani.

Kondisi ini juga terjadi pada hewan pengangkut. Penarikan balok pohon jati, kadang-kadang berada di sepanjang jalan yang sama sekali rusak dan berbatu, sangat tidak mudah dan sering mematikan bagi ternak yang digunakan. Dikabarkan karena rusaknya kondisi jalan, pada jalur dari Blimbing ke Ngareng (Cepu) banyak kerbau yang jatuh dan lumpuh. Jalur berbatu tidak layak bagi hewan semacam kerbau, habitat hewan ini haruslah berlumpur.

Selama lima belas hari dalam sebulan, terlepas dari jauh dan melelahkannya perjalanan keluar-masuk dari desa ke hutan, kerbau-kerbau yang sama itu terus-menenus digunakan tanpa cukup makanan. Diperkirakan setiap hari mereka mengangkut muatan dengan jarak kisaran 6 pal atau 9 mil Belanda. Ditambah lagi, begitu mereka menyelesaikan pekerjaan, jarak yang sama akan ditempuh di keesokan harinya. Beban balok yang akan diseret tidak selalu sebanding dengan daya tarik sang kerbau. Sehingga seringkali hewan-hewan itu roboh ketika mereka dipaksa berjalan, dan akhirnya mati, tanpa diberi kompensasi.

Namun, betapapun beratnya sebagai Blandong dengan upah yang sedikit, sebagian besar warga sekitar hutan terpaksa mengambil pekerjaan itu, tidak ada pilihan lain. Tak ada lagi yang bisa didapatkan di hutan, akses warga dibatasi, penduduk Blora dilarang masuk ke hutannya sendiri, karena hutan Blora telah “dikontrak” oleh pihak Kolonial. Banyak yang kehilangan mata pencaharian, sehingga sebagian warga hutan terpaksa mengungsi, menjadi gelandangan, sebagian lagi yang marah melakukan sejumlah penyerangan kepada pihak Belanda. Kejadian ini yang kemudian menjadi pencetus pemberontakan di wilayah hutan yang dipimpin oleh Raden Rongga. Tetapi perjuangan mandiri Raden Rongga tak banyak membuahkan hasil, dan harus berakhir di tahun 1810 bersamaan dengan kematiannya. Seharusnya, dia adalah seorang pahlawan Blandong!

Blandong bekerja atas perintah pengawas mantri pribumi, dan memang mendapatkan upah dari kerjanya, tetapi itupun sangat kecil. Pada tahun 1819 tercatat upahnya sebesar 16,5 sen perhari perkepala. Jumlah upah di tahun 1849 menjadi 30 sen perhari, selain mendapat ransum beras dan garam.

Berapapun peningkatan upah itu, pastinya tidak sebanding dengan kerja keras dan penderitaan seorang Blandong. Di tangan mantri yang tidak dibekali keahlian, kelompok Blandong cenderung menghabiskan hutan secara serampangan dan tanpa perkiraan. Untuk memenuhi ketentuan Belanda dan besaran balok kayu, tak jarang kayu kecil atau yang tak sesuai, harus ditinggalkan begitu saja, atau bahkan dibakar. Tak ada yang diuntungkan dari keadaan ini. Kolonial akhirnya sadar bahwa sistem kerja dengan mengeksploitasi tenaga Blandong dengan hewan ternak-nya adalah sistem yang salah. Penghapusan sistem kerja Blandong dimulai dari tahun 1864, secara bertahap di seluruh hutan Jawa.

Tentang penulis: Totok Supriyanto merupakan pemerhati budaya

*Opini di atas adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Bloranews.com 

Verified by MonsterInsights