fbpx
OPINI  

NGOPENI PESANTREN JANGAN PILIH KASIH

Pesantren, menurut banyak orang adalah bengkel akhlak. Seperti halnya bengkel mobil yang tak pernah menolak membetulkan mobil yang rusak, pesantren juga tidak pernah menolak santri yang pengen mondok. Tidak peduli, seberapa rusaknya akhlak santri tersebut. Semuanya diterima, semuanya mendapatkan pengajaran yang sama. Meski demikian, tidak boleh dinafikan adanya pesantren yang menerapkan seleksi kepada calon santrinya. Tapi bukan itu yang ingin saya bicarakan di sini.
Karjo.

Pesantren, menurut banyak orang adalah bengkel akhlak. Seperti halnya bengkel mobil yang tak pernah menolak membetulkan mobil yang rusak, pesantren juga tidak pernah menolak santri yang pengen mondok. Tidak peduli, seberapa rusaknya akhlak santri tersebut. Semuanya diterima, semuanya mendapatkan pengajaran yang sama. Meski demikian, tidak boleh dinafikan adanya pesantren yang menerapkan seleksi kepada calon santrinya. Tapi bukan itu yang ingin saya bicarakan di sini.

Sebelum ke inti persoalan, saya ingin membahas figur sentral di pesantren, yakni kyai. Sebagai soko guru sekaligus figur sentral, kyai merupakan representasi pesantren itu sendiri. Di kalangan santri, sosok kyai merupakan pribadi yang dihormati sedemikian rupa sehingga tindak tanduk dan solah bawanya menjadi teladan, serta dawuhnya senantiasa diugemi. Sikap santri yang semacam ini lahir dari kesadaran akan sepuhnya kyai tersebut, baik sepuh secara nasab, sanad ngelmu, dan sarat pengalaman.

Ketaatan santri macam inilah yang kerap membuat banyak pihak tertarik, diantaranya bagi elit politik dan para pengambil kebijakan. Bagaimana tidak? Untuk membuat santri, yang jumlahnya makin hari makin banyak, tertarik mendukung partai politik tertentu cukup dengan mendekati kyainya. Demikian pula dengan para pengambil kebijakan yang sedang menjalankan misinya, maka figur kyai sebagai pribadi yang berpengaruh akan menjadi ikon yang kuat.

Meski berdampak baik, bagi demokrasi dan berjalannya pembangunan, fenomena ini ibarat dua mata pedang. Sisi buruknya adalah munculnya figur-figur pengasuh pesantren sebagai ikon partai tertentu. Atau bisa juga figur pengasuh pesantren menjadi tangan panjang para pengambil kebijakan dalam menyosialisasikan kebijakannya. Tentu saja, hal ini akan menuju ke implikasi yang merupakan poin utama dari tulisan ini.

Mungkin salah satu implikasinya adalah sebagai berikut. Pertama, partai politik dan pengambil kebijakan akan memberikan sesuatu sebagai imbal jasa atas bantuan yang telah diberikan oleh pengasuh pesantren. Dampaknya, tidak semua pesantren akan mendapatkan perlakuan yang sama. Tentu saja, ujungnya adalah sejumlah pesantren yang merasa jadi anak tiri dan menjadi korban pilih kasih dalam hal pembangunan.

Terhadap penalaran di atas, mungkin sebaiknya sikap menjaga jarak antara pengasuh pesantren, partai politik, dan pengambil kebijakan. Sehingga marwah kyai sebagai ‘milik umat secara keseluruhan’ tetap terjaga. Di sisi lain, parpol dan pengambil kebijakan harus berlaku adil. Artinya, semua pihak harus diperlakukan setara tanpa menganakemaskan satu atau sejumlah lembaga tertentu.

Meski pendapat ini sudah umum didengar, tapi perlu ditegaskan di sini posisi partai sebagai penyalur aspirasi politik rakyat dan pengambil kebijakan sebagai pelayan rakyat. Sebagai pelayan, tentu saja tidak boleh pilih kasih dalam melayani majikannya. Seperti unen-unen yang lazim diucapkan orang jawa, yakni ‘Tiji Tibeh, Mukti Siji Mukti Kabeh’.

Tentang penulis: Karjo adalah Pengasuh Pondok Pesantren Darussam Doplang, Dosen Tafsir di STAI Al Muhammad Cepu, dan Ketua Persatuan Guru NU (Pergunu) Kecamatan Jati.

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com

Verified by MonsterInsights