fbpx
OPINI  

BLORA, ANTARA PESISIR DAN PEGUNUNGAN

BLORA, ANTARA PESISIR DAN PEGUNUNGAN
Ilustrasi Peradaban dan singa penjaga.

Antara jalur pantai utara Jawa – dengan pelabuhan kunonya – dengan Istana-Istana di Jawa Tengah selatan (Surakarta dan Jogjakarta), dan wilayah mancanegara timur (Bang-Wetan) Mataram, dari Grobogan menuju Lamongan, membentang kawasan hutan purba di pegunungan berkapur bernama Kendeng.

Sungai terpanjang di Jawa, Bengawan Solo, dan sungai purba, sungai Lusi mengalir membelah lembah-lembahnya. Di masa awal, kawasan hutan ini tampaknya meluas lebih jauh ke arah selatan, ke Caruban, Kertasana atau ke Ngawi. Sehingga secara tradisional, kawasan hutan ini menjadi sebuah wilayah yang cukup dominan di pulau Jawa.

Sungguh luar biasa, bahwa rekam jejak sejarah pra-Islam atau “Majapahit”, sejauh yang telah umum diketahui, dan dengan batasan tertentu, hampir secara eksklusif berada di sekitar daerah aliran Bengawan Brantas Jawa Timur. Juga, berada di bentang alam Jawa Tengah-Selatan, dimana diketahui sebagai lokasi istana kerajaan yang lebih kuno, yaitu daerah aliran sungai Opak dan sungai Praga. Tetapi justru asal usul para pangeran Mataram Islam, pada dasarnya berawal dari dalam kawasan hutan purba ini, sampai ke wilayah pesisir utara Jawa. 

Sungai lusi yang berhulu di pegunungan Kendeng, melintas daerah yang disebut sebagai Medang Kamulan, yang dalam mitos Jawa sering dianggap sebagai asal raja-raja Jawa paling tua. Dalam sistem kepercayaan Kerajaan kuno, Dewi Sri dianggap sebagai dewi tertinggi yang paling dimuliakan oleh sebab sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran. Serat Manikmaya menyebutkan bagaimana tanaman padi tercipta karena sang Dewi. Darmastiti adalah awatara (titisan) Dewi Sri yang diperistri Raja Medang Kamulan. Kepercayaan yang berkembang juga mengatakan bahwa beras merah dan beras putih keluar dari kedua matanya. Boleh jadi, kata Lusi, adalah gabungan dua kata; Luh + Sri, yang berarti air mata kerinduan Dewi Sri. Apapun, yang tertera dalam berbagai sumber Jawa itu setidaknya memberi gambaran, bagaimana bentang alam, pohon dan juga tanaman pangan yang tumbuh diatasnya harus diperlakukan. Sebuah warisan budaya yang kental dengan corak agraris, meskipun jaringan-jaringan dagang mengambil bagiannya sendiri.

Sungai besar dan terpanjang di Jawa, adalah predikat yang melekat pada Bengawan Sidayu, Semanggi atau Bengawan Solo. Meliuk liuk dari lereng Gunung Lawu, melewati Pajang, Pleret, Karta dan juga Sala yang kelak menjadi tempat Kotaraja Mataram Islam, bergabung dengan Bengawan Madiun di Ngawi, untuk kemudian mengalir membelah terjalnya pegunungan Kendeng Selatan Blora, kemudian mengalir jauh ke timur sampai bermuara di dekat Ampel Denta Surabaya. Perlu dicatat bahwa daerah Lwaram (Ngloram), yang juga dilintasi Bengawan Solo, disebut dalam Prasasti Pucangan (1037) pada saat Raja Erlangga berkuasa, sehingga memungkinkan menjadi pusat wilayah terpenting, saat terjadi Pralaya besar di tanah Jawa. Setelah padatnya jalur maritim laut Jawa, jalur perdagangan merambah menuju jalur maritim sungai, kemajuan ini sudah pasti akan memunculkan kota-kota niaga baru, yang berada di jalur Bengawan. Terkait keberadaan kota niaga juga pelabuhan sungai itu, kota Jipang tampaknya pernah paling dominan di antara daerah-daerah lain di sepanjang Bengawan.

Bagaimanapun, satu-satunya sebab kekalahan “kerajaan Jipang”, adalah karena politik Mataram. Pusat kota Jipang berada di wilayah Panolan, atau disebut juga Jipang-Panolan, yang semenjak awal abad ke-19, seluruh bagian Jipang-Panolan masuk menjadi bagian dari wilayah Blora. 

Blora, yang pernah didominasi oleh hutan purba, ternyata juga meliputi sekaligus dilintasi kedua aliran sungai besar itu. Sehingga selain pernah menjadi pusat peradaban kuno, sisi-sisi bantaran sungai Lusi dan Bengawan memiliki peran penting pada masa penyebaran agama Islam di Jawa. Sebagian besar kisah tentang Wali-Songo, orang-orang suci pembawa Islam ke tanah Jawa, berasal dari hilir Bengawan dan hilir sungai Lusi, dan dari pesisir utara kawasan hutan ini, yang kemudian masuk menuju pedalaman Jawa lewat jalur darat dan sungai. Islam telah memasuki Jawa melalui aktivitas perdagangan dan sudah tentu menjalin keterkaitan dengan keberadaan kota-kota niaga itu.

Budaya akan tumbuh dan berkembang sesuai karakteristik dan pola kehidupan masyarakatnya, di Blora, oleh Bengawan yang hampir bercorak maritim dan dengan Lusi yang agraris, dua pusat peradaban yang kemudian bersuaka dengan wilayah hutan. Agaknya itu yang bisa dipetik dari kesenian Barongan Blora, Barongan yang masih berambut Jadam. Demikian juga dengan sumber dayanya, lanskap tanah berbukit dan tandus, menyembunyikan sebuah fakta bahwa Blora menyimpan segenap energi pesisir dan pegunungan, antara energi air dan api, yaitu api berwujud air mancawarni, bernama minyak bumi. 

 

Tentang penulis: Totok Supriyanto adalah pemerhati sejarah dan budaya.

 

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com