fbpx
OPINI  

KEMENANGAN SOSRO DILOGO DI CEPU

Ilustrasi
Ilustrasi

Ditengah peristiwa Perang Diponegoro (1825-1830), atau tepatnya di akhir tahun 1827, pemberontakan mulai pecah di selatan Blora. Tumenggung Sosro Dilogo dari Madiun, beserta komandan sejumlah prajurit kraton Djokjakarta membentuk pasukan perang untuk memberontak kepada Belanda di tengah kacaunya suasana pasca perang Madiun.

 

Ilustrasi
Ilustrasi

 

Dengan segera, Sosro Dilogo berhasil mengumpulkan paling tidak 100 pendekar, dan mulai melancarkan pemberontakan di daerah Ngawi, di pertemuan dua Bengawan; Madiun dan Solo. Kenyataannya, ia mendapat dukungan penuh dari para pejabat rendah pribumi setempat, dan setelah itu dia juga berhasil mengumpulkan bromocorah di pegunungan kapur berhutan di Kabupaten Rajegwesi (Bojonegoro), dengan perkasa, Sosro Dilogo berhasil menguasai kota Rajegwesi pada tanggal 28 November 1827, membunuh sebagian besar pejabat pribumi, beberapa orang Eropa, dan menyerang sebuah kapal bermuatan 980.000 pound beras arah Surakarta yang melintasi jalur Bengawan Solo.

Sebagai balasan, Komandan Militer Belanda di Surabaya menyiapkan pasukan dari Gresik via Lamongan dengan jarak 69 pal (1 pal = 1,5 mil Belanda). Sementara itu Kolonel Nahuys, yang saat itu merupakan Resident Surakarta, memimpin 300 prajurit Jawa, Komandan Pengawal (Dezenche) dan beberapa komandan kebangsaan Eropa dari Surakarta, melalui Ngawi menuju Rajegwesi (Bojonegoro). Separo dari pasukan ini berjalan menyusuri Bengawan Solo, menyisir desa-desa sepanjang aliran Bengawan dari para pejuang.

Pada 7 Desember kedua divisi pasukan Belanda tersebut bergabung di Ngawi. Pada 9 Desember, Nahuys bertempur dengan 350 atau 400 pemberontak di desa Ngaji, dan berhasil memadamkannya. Pada kesempatan itu, pemimpin pejuang pemberontak bernama Meloyo Kesoemo dengan 15 orang ditangkap hidup-hidup, dan sekitar 10 lainnya tewas. Para pemberontak kemudian lari meninggalkan kota Ngawi, ke arah timur laut dan barat daya, ke hutan lebat dan pegunungan kapur, yang ditembus aliran Bengawan Solo. Para tahanan terbunuh pada hari berikutnya.

Kolonel Nahuys kemudian menyeberangi Bengawan dan segera menuju ke Panolan di timur laut Ngawi, dan menerima informasi dari teliksandi bahwa di pagi hari tanggal 11 Desember 1827, Tumenggung Sosro Dilogo bersama 800 pasukannya berada di hutan Padangan, 26 pal utara Ngawi dan 9 pal dari Panolan, dan diinformasikan juga bahwa mereka berniat untuk menyeberang ke daerah Plunturan (Cepu), Kabupaten Blora.

Kolonel Nahuys ingin menghentikan pergerakan ini, maka ia berangkat dengan pasukannya, yang terdiri dari 48 prajurit infanteri (fusilier) Ambon dan Jawa, dan 3 kebangsaan Eropa, di bawah Letnan Marnitz; 15 pasukan kavaleri Eropa dan 25 kavaleri Mangkunegaran, serta beberapa prajurit dari Madiun, beberapa Komandan Pengawal berikut pasukannya, 5 tentara bayaran Eropa, Pangeran Madiun dan beberapa Bupati.

Setelah berbaris selama 2 jam, pukul 11.00 mereka bertemu dengan pemberontak. Pasukan pemberontak yang terdiri dari dua kelompok itu dikomandoi oleh beberapa pemimpin berbaju serba putih. Nahuys segera memerintahkan pasukannya untuk memasang bataille (senapan), dan memerintahkan untuk tidak menembak sebelum aba-aba.

Namun, ketika pemberontak semakin dekat, seorang letnan (tak sengaja) menarik pelatuk terlalu dini, sehingga sebelum senapan itu diisi kembali, pasukan Sosro Dilogo dengan kekuatan yang ganas segera menyerang. Pasukan infanteri Jawa yang tak siap mulai goyah dan penunggang kuda Madiun dengan cepat mengambil langkah melarikan diri, semuanya menjadi kacau. Pasukan yang menemani Nahuys, komandan Hardij, dan komandan Diard, Van Vlissingen, Tremio dan saudara lelaki Nahuys, dengan sia-sia menghentikan semua serangan yang cepat itu dan akhirnya tewas. Lebih dari setengah pasukan Nahuys terbunuh, yang lain menyelamatkan dirinya melalui kecepatan kuda.

Dua kelompok pasukan Sosro Dilogo segera menguasai area pertempuran, di mana yang kalah harus segera melarikan dirinya. Bagaimanapun, Sosro DiLogo memiliki cukup rasa hormat kepada Nahuys yang pernah menjadi Resident Jogjakarta. Dan mungkin segan kalau Diponegoro akan marah, jika membunuh Nahuys langsung dengan tangannya, itulah mengapa ia membiarkan Nahuys melarikan diri, dan memberi aba-aba kepada pasukannya untuk meninggalkan pengejaran. Kolonel Nahuys, dengan semua pengikut yang tersisa, harus bersusah payah untuk berenang melintasi Bengawan yang luas dan deras, dan bergegas menuju Ngawi.

Kekalahan ini terjadi di desa Cabean, Plunturan (Cepu) dan memiliki konsekuensi sangat buruk bagi Kolonial Belanda. Para pemberontak menyebar ke seluruh wilayah utara aliran Bengawan, di Rembang Lasem, Tuban dan Blora.

Tentang penulis: Totok Supriyanto merupakan pemerhati budaya dan sejarah

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com

Verified by MonsterInsights